Adalah tidak mudah mencoba bersandar pada batang yang sudah rapuh. Bukan usia yang membuatnya melunak dan lapuk. Bukan pula semesta yang mengajak hujan dan matahari untuk mengikisnya. Tapi waktu, yang mengajaknya membuat lubang-lubang kecil hingga menyulitkanmu untuk sekedar menitip bahu.

Jika malam ini atau siang tadi kita berbagi janji, maka seberapa bagian itu akan tetap sama besarnya saat esok pagi, lusa pagi, atau beratus-ratus pagi lagi?? Bertaruhlah sembilan nyawa sekalipun, kau pun tahu hasilnya tidak akan sama. karena manusia dan hati itu berotasi, bukan benda mati. 

Yang menyesakkan adalah, ketika kau tahu saatnya berotasi, tapi kakimu masih juga terbenam dalam balutan lilin, menunggu percik  api yang melumerkan pelan-pelan. Sementara entah sudah berapa kali putaran itu terjadi. Memutari orbit baru, yang kau sendiri pun nanar mencarinya....

Dan tibalah waktunya sangat ingin sekali menyalahkan. Menyalahkan kamu, dia, kita...dan semua hadiah kejutan yang mata ini berikan tentang letupan bahagiamu sekarang- tanpa sekecilpun mau berteriak, “hei, aku yang salah!!”. Kalau memang intuisi beberapa malamku dibayar dengan ini, aku rela mimpi tidak singgah dan berakar meracuni seluruh siangku...

Realita itu mengigit, katanya. 



This entry was posted on 11.57 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

    Kaki langit mengatakan...

    Waaw Penganalogian yang bagus kaka :p

  1. ... on 18 Juli 2011 pukul 17.04